Harga beras naik, Guru Besar IPB ingatkan pemerintah tidak mudah ciptakan kebijakan impor berlebihan
Peningkatan harga beras di pasaran membuat pedagang makanan harus memutar otak agar tetap memperoleh keuntungan, antara lain mengecilkan porsi nasi yang dijual. Di sisi lain, kenaikan harga beras ini justru membuahkan keuntungan petani yang menyebut “harga beras lagi bagus”. Guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) mengakui terjadi penurunan produksi beras saat memasuki El Nino, tapi jumlahnya tidak signifikan.
Reaksi pasar yang berlebihan terhadap kenaikan harga beras, kata dia, justru menciptakan kebijakan impor yang dapat merugikan petani dan masyarakat luas. Ahmad, pemilik warteg di kawasan Jakarta Timur, mengaku keuntungannya makin tipis imbas kenaikan harga beras. Ia tidak ada rencana sama sekali untuk menaikkan harga, tapi bersiap menyusutkan porsi nasi yang dihidangkan kepada pelanggan. “Nggak bisa kalau konsumennya mahasiswa. Kita jualnya harus murah. Menaikkan harga itu nggak, tapi mengurangi porsi,” katanya.
Dengan kenaikan harga beras ini, Ahmad mengaku harus memangkas keuntungannya sekitar Rp1 juta/bulan. “Tenaga kita nggak terbayar. Tipis sekali [keuntungannya] kayak kertas,” katanya. LENGKAP! Transfer Persib Bandung: 3 Sosok Pemain Asing Baru, Pemain Dewa United Ditukar Robi Darwis Halaman 4 Catut Nama Istrinya Jadi Komisaris Perusahaan, Rafael Alun Dapat Rp 10 Juta Setiap Bulan
Harga beras naik, Guru Besar IPB ingatkan pemerintah tidak mudah ciptakan kebijakan impor berlebihan Maling Senjata Berkeliaran di Pangkalan Militer AS di Irak dan Suriah: Drone Peluncur Rudal Hilang Halaman all Harga Gula Bakalan Mengikut Harga Beras jika Pemerintah Tidak Ada Impor
Inilah Sosok Istri Baru Mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, Pamer Keakraban dengan Anak Halaman 4 Sementara itu, Burhanudin, penjual pecel lele di kawasan Jakarta Pusat, mengatakan kenaikan harga beras belum terlalu signifikan terhadap keuntungan penjualannya. Kendati demikian, ia sudah mulai mengecilkan porsi nasi untuk pelanggan.
“Kurangi porsi nasi. Biasanya full [satu mangkuk kecil]. Kita kurangi sedikit. Pintar pintar kita saja. Kalau orang kurang, ditambah [bayar] lagi nanti nasinya,” katanya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras di tingkat konsumen meningkat dalam satu tahun terakhir sebesar 18,44%. Kenaikan harga beras ini “akibat penurunan luas panen yang kemudian didorong dampak El Nino”.
Secara umum, inflasi harga beras September 2023 dibandingkan bulan sebelumnya meningkat sebesar 5,61%. Angka inflasi beras bulanan ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, atau sejak Februari 2018. Saat itu, BPS melaporkan inflasi harga beras bulanan mencapai 6,25%. “Kenaikan harga beras ini, tentunya disebabkan berkurangnya pasokan akibat kemarau berkepanjangan, dan juga penurunan produksi karena efek El Nino,” kata Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam keterangan pers. Di sisi lain, harga gabah kering panen (GKP) di petani juga mengalami peningkatan.
BPS melaporkan rata rata GKP di tingkat petani pada September 2023 mengalami kenaikan sebesar 11,69% dibandingkan Agustus 2023. Dan, dalam satu tahun terakhir naik sebesar 26,70%. Gabah kering giling (GKP) atau gabah siap digiling menjadi beras, harganya juga meningkat di tingkat petani, sebesar 9,26% (September dibandingkan Agustus). Harga GKP juga naik dalam satu tahun terakhir sebesar 27,31% (Year on Year September 2023). Tarsono, petani asal Indramayu, Jawa Barat, mengatakan kenaikan harga beras belakangan ini justru “harganya bagus” bagi petani.
“Kalau berkaca di wilayah saya, untungnya lumayan. Kalau harga beras naik, atau mahal,” kata Tarsono. Sebagai ilustrasi, petani bisa memperoleh keuntungan sekitar Rp20 juta dalam sekali panen (tiap empat bulan) untuk produksi gabah sebesar empat ton. Dengan kata lain, setiap bulan petani bisa memperoleh keuntungan Rp5 juta. Namun, Tarsono tak memungkiri tahun ini sejumlah lahan petani di Indramayu mendapat serangan hama tikus dan tenggerek.
“Ketiga, faktor El Nino ini. Ya, memang daerah yang tadah hujan itu rebutan air sehingga terjadi banyak yang puso,” tambahnya. Di Jawa Tengah, Suroso, mengakui kenaikan harga beras di pasaran telah menggerek kenaikan harga gabah di tingkat petani. Petani di Desa Laban, Kabupaten Sukoharjo itu mengatakan harga jual GKP (gabah basah) mencapai titik tertingga hingga Rp6.600/kilogram. “Harga jual naik dari petani nyampe Rp6.600/kilogram untuk gabah basah langsung dari sawah. Harga kemarin Rp5.500 waktu panenan kemarin. Tadi dengar dengar Rp6.500 sampai Rp6.600 sekarang,” kata Suroso semringah.
Namun, karena penyakit yang menyerang tanaman padi dan hama, produksi padi Suroso mengalami penurunan dibandingkan dua kali panen padi sebelumnya. “Biasanya sekali panen itu bisa dapat 20 sak gabah basah, tapi sekarang cuma 10 – 15 sak gabah basah,” kata Suroso kepada wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Menurut Suroso, faktor cuaca tidak mempengaruhi penurunan produksi padinya.
Di sisi lain, pemilik penggilingan padi di desa yang sama, Sri Sulastri, mengatakan harga komoditas pangan di tempatnya ini juga naik. Sulastri sendiri menjual beras dari tempat penggilingan padinya senilai Rp13.500 per kilogram untuk beras kepala atau ukuran utuh. Untuk beras biasa dibanderol dengan harga Rp 12.500 per kilogram. “Dulu itu yang saring besar itu paling Rp12.000 tapi sekarang naiknya sudah Rp1.500 makanya ganti harga ya kenaikannya itu,” ujar dia.
Adanya kenaikan harga beras itu, Sulastri mengeluh sekarang penjualannya beras di tempat penggilingan padinya mengalami penurunan dibandingkan harga masih normal. Penurunan tersebut disebabkan daya beli masyarakat mengalami penurunan. “Ada, pengaruhnya (harga beras naik). Pembeli berkurang malah agak sepi karena harga terlalu tinggi jadi orang beli dikit dikit. Biasanya beli 25 kilogram, sekarang ini dikurangi jumlahnya, sebut dia. Dari Lampung, Yohanes Susanto dengan wajah sedih sedang membabat batang padi di sawah garapannya. Hampir seluruh tanaman padinya kering dengan tanah retak retak.
Di Desa Marga Agung ini, kata Susanto, hampir semua petani yang menggunakan metode tadah hujan mengalami gagal panen. "Memang nggak bisa panen. Waktunya kena panen, menguning, ini malah dari mulai bunting padinya, nggak kena air, ya terpaksa kita arit. Kita bawa pulang untuk pakan hewan sendiri," kata Susanto saat ditemui wartawan Robertus Bejo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Penyebab gagal panen kali ini, kata Susanto, lantaran prediksi yang meleset mengenai periode musim kemarau. "Tahun sebelumnya itu hanya satu bulan [kemarau], paling lama. Ini tiga bulan lebih belum turun hujan juga," katanya.
Menurutnya, harga beras yang meningkat di pasaran hanya menguntungkan petani petani yang memiliki stok lebih. "Kalau memang yang sudah memiliki stok dari hasil panen sebelumnya belum kena dampak panasnya [kemarau], ya dengan adanya harga di pasaran melambung tinggi, sebenarnya petani diuntungkan," tambah Susanto. Puso kali ini akan dijadikan pelajaran oleh Susanto untuk memiliki simpanan gabah di rumah atau di lumbung. "Lain kali kita sudah pengalaman seperti ini, harus bisa menyisihkan hasil panen," kata petani yang mengaku sekarang harus membeli beras di pasar.
Meskipun harga gabah di tingkat petani dan penggiling sedang tinggi, tapi bagi pemilik Pengilingan Perwito Sudarmo, Darmanto, sulit untuk menjualnya. Menurutnya, hal ini karena adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dari luar negeri. "Dampaknya ke pedagang kecil," kata Darmanto yang merangkap sebagai petani Lampung. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Profesor Dwi Andreas Santosa, mengatakan El Nino bukan satu satunya faktor yang menyebabkan harga beras naik di tingkat konsumen.
Berdasarkan survei lembaganya, biaya produksi petani yang meningkat tajam dalam empat tahun terakhir ikut mempengaruhi kenaikan harga beras. “Jadi kalau biaya produksi naik relatif tinggi, ya wajar wajar saja, harga beras di konsumen naik. Kalau harga beras di konsumen mintanya tetap stabil terus, celaka sedulur tani,” kata Guru Besar di IPB ini. Harga beras saat ini, menurut Prof Andreas perlu terus dipertahankan agar petani bergairah untuk menanam padi.
“Itu harus kita syukuri. Karena petani saat ini, petani yang menanam padi baru menikmati keuntungan, setelah bertahun tahun rugi terus," katanya. Dalam beberapa terakhir, kata Prof Andreas, petani padi mengalami kerugian terus menerus. Hal ini ditemukan dari survei lembaganya di 47 sentra padi. Survei ini menemukan dalam setiap 2.000 meter persegi tanaman padi, petani bisa menelan kerugian antara Rp250.000 – Rp1 juta dalam setiap musim tanam. Persoalannya, harga gabah di tingkat petani tak sebanding biaya produksinya.
“Itu terbaca juga di NTP [Nilai Tukar Petani] 2021 2022 hanya 98,5. NTP tanaman pangan. Berarti tanam padi rugi. Itu dua tahun berturut turut rugi, ya malas [tanam padi] sedulur petani kita,” katanya. Berdasarkan laporan BPS, produksi padi cenderung stagnan bahkan menurun sejak 2018 yaitu 33,9 juta ton menjadi 31,5 juta ton pada 2022. Keengganan petani menanam padi karena harganya tidak bersahabat, membuat momentum La Nina (musim hujan lebih panjang dari musim kemarau) terlewatkan untuk mendongkrak produksi padi nasional.
“Pemerintah kalau saat ini betul betul concern [peduli dengan] sedulur tani, concern ke peningkatan padi nasional, ya pertahankan harga yang sekarang ini baik baik. "Saya pastikan, harga yang sekarang ini bisa dipertahankan tahun depan produksi padi kita pasti meningkat,” katanya. Berdasarkan laporan BPS, periode Januari Agustus 2023 ini, pemerintah sudah mengimpor beras sebesar 1,5 juta ton. Beras impor ini paling banyak berasal dari Thailand diikuti Vietnam, Pakistan, India, dan lainnya.
Dalam keterangan terbaru, pemerintah kembali membuka peluang untuk mengimpor beras dari China sebesar satu juta ton. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, mengatakan langkah ini diambil untuk mengantisipasi dampak El Nino yang menyebabkan penurunan produksi, dan kemunduran panen raya. Pria yang disapa Buwas itu mengatakan, China sudah berkomitmen untuk menyiapkan satu jut aton beras untuk Indonesia jika sewaktu waktu dibutuhkan.
"Tidak langsung diambil, kita lihat dulu kebutuhannya, tapi China sudah menyiapkan kalau kita ada emergency," kata Buwas sebagaimana dikutip dari Kompas. Pemerintah juga mengguyur beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) selama tiga bulan kepada 21,3 juta rumah tangga untuk mengintervensi kenaikan harga beras. Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, mengatakan, Indonesia mungkin akan impor 1,5 juta ton beras sampai akhir tahun ini. Hal ini untuk memenuhi cadangan beras bulog.
Menurut Prof Andreas, penurunan produksi beras tahun akibat peralihan ke El Nino tahun ini hanya berada di kisaran 5% atau setara 1,5 juta ton. Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang berencana mengimpor beras hingga 2,9 juta ton hingga akhir tahun ini, apa yang ia sebut "berlebihan". “Kalau mau menekan harga, bebaskan saja impor [beras]. Harga pasti turun. Kalau pemerintah dalam kebijakannya berpihak ke konsumen, dan pasti produsen [petani] mati,” katanya dengan satir.